Hukumonline Luncurkan Easybiz.id untuk UMKM

Hukumonline Luncurkan Easybiz.id untuk UMKM

easybiz

Jakarta: Portal hukum terbesar di Indonesia, hukumonline.com merilis portal www.easybiz.id. Laman ini berisi informasi lengkap layanan pengurusan legalitas usaha untuk UKM, wirausaha, dan ”start up” di Indonesia.

Direktur Bisnis hukumonline.com Andika Gunadarma di Jakarta, Rabu, mengatakan pada awal tahun ini mengambilalih kepemilikan www.legal4UKM.com yang kemudian ditransformasikan menjadi Easybiz (www.easybiz.id). Akuisisi dotcom ini diharapkan mampu menjangkau lebih banyak UKM, wirausaha, dan start up di Indonesia.

”Sudah saatnya UKM, wirausaha, dan start up di Indonesia naik ke kelas yang lebih tinggi dengan memahami pentingnya aspek hukum dalam berbisnis. Ini bisa dimulai dengan pendirian badan usaha yang legal, pengurusan izin terkait, hingga aspek HKI,” katanya.

Menurut dia, kepatuhan terhadap aspek legalitas akan memberi nilai tambah dan meningkatkan daya saing perusahaan Indonesia dalam berbisnis. Lebih dari itu, kata dia, Easybiz dan hukumonline akan bekerja sama untuk mendorong transparansi dalam berbisnis di Indonesia melalui pendirian badan usaha dan pengurusan izin usaha.

Sebelumnya sejak 2012 legal4UKM, sebelum menjadi Easybiz, telah aktif melakukan edukasi dan advokasi terhadap UKM di Indonesia agar memahami pentingnya aspek hukum dalam berbisnis. Layanan konten dan informasi Legal4UKM yang dapat diakses dengan gratis melalui laman telah menjadi referensi penting bagi kalangan wirausaha dan start up.

”Di sisi lain, hukumonline.com telah menjadi pelaku utama dalam menyediakan informasi hukum terintegrasi sekaligus wadah bagi berbagai komunitas hukum di negeri ini,” ujarnya.

Ia menambahkan setiap hari website hukumonline memiliki lebih dari 150 ribu ”pageviews” dan 43 ribu ”unique visitors” atau lebih dari 4 juta pageviews dan 1,2 juta unique visitors perbulan. Dari pageviews tersebut, layanan klinik hukumonline menjadi salah satu daya tarik utama. Sebanyak 51 persen “traffic” hukumonline disumbangkan oleh rubrik klinik.

Pendiri Legal4UKM dan Presiden Direktur Easybiz Bimo Prasetio mengaku sangat ingin Legal4UKM mampu menjangkau audiens yang lebih luas karena kebutuhan UKM, wirausaha, dan start up terhadap akses informasi dan layanan yang terjangkau juga makin meningkat.

”Kami ingin membuat bisnis jadi mudah. Dengan rebranding menjadi Easybiz ditambah jaringan kerja sama (network) yang dimiliki hukumonline akan memperkuat positioning kami,” katanya.

Easybiz diharapkan mampu memberikan solusi dari aspek hukum kepada pebisnis, khususnya UKM, wirausaha, dan start up, yang akan memberi kenyamanan dan keamanan bagi mereka. ”Dimulai dari pendirian badan usaha yang cocok, pengurusan izin yang memberikan legalitas bisnis, hingga pendaftaran HKI yang memberikan perlindungan hukum bagi brand dan kreativitas pebisnis di Indonesia,” kata Bimo.

Ia menambahkan, layanan pendirian badan usaha yang dimiliki Easybiz juga didesain agar biayanya terjangkau untuk UKM di Indonesia yang jumlahnya mencapai lebih dari 55 juta.

Selain mendorong transparansi berbisnis melalui pendirian badan usaha dan perizinan usaha, Hukumonline dan Easybiz akan bekerja sama untuk membuat dan menyebarluaskan konten yang berkualitas. (rief)

Sumber: http://www.media-release.info/ukm/hukumonline-luncurkan-easybiz-id-untuk-umkm/

Menjamin Industri Halal Melalui UU JPH

Menjamin Industri Halal Melalui UU JPH

UU JPH ini adalah kabar baik bagi kita semua, yaitu konsumen dan pelaku usaha, sebagai awal dan batas yang jelas bermulanya interaksi positif produsen-konsumen yang menguntungkan kedua belah pihak.

Dua puluh lima September lalu, DPR telah mengesahkan Rancangan Undang-Undang Jaminan Produk Halal (RUU JPH) untuk memberikan jaminan hukum mengenai kehalalan suatu produk, yang dibuktikan dengan sertifikat halal. Indonesia, sebagai negara yang memiliki penduduk Muslim terbesar di dunia, adalah pasar potensial penduduk dunia yang tentu saja memiliki kepentingan menjaga masyarakatnya mendapatkan perlindungan dan jaminan kehalalanproduk yang dikonsumsi.

UU JPH sangat berhubungan dengan aktivitas bisnis di Indonesia, impor maupun ekspor. Aktivitas untuk memastikan produk tersebut halal melingkupi segi suplai bahan, proses produksi, penyimpanan, pengemasan, distribusi, penjualan hingga penyajian produk.

Dalam RUU JPH disebutkan bahwa produk yang memasuki, bersirkulasi dan diperdagangkan di wilayah Indonesia, wajib memiliki sertifikat halal. Sedangkan definisi dari produk tersebut adalah barang dan/atau jasa yang berhubungan dengan makanan, minuman, obat-obatan, kosmetik, produk kimia, produk biologis, produk rekayasa genetik dan barang-barang yang dipakai, digunakan atau dimanfaatkan oleh publik. Lebih lanjut disebutkan, produk halal adalah produk yang telah dideklarasikan halal menurut syariah Islam.

Secara garis besar, RUU JPH mengatur hal-hal sebagai berikut: penyelenggaraan JPH dan penyelenggara JPH; Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJH); syarat dan prosedur pelaku usaha dalam sertifikasi JPH; pengawasan terhadap produk halal; dan penegakan hukum terhadap penyelenggaraan JPH.

Penyelenggaraan Jaminan Produk Halal

Pemerintah mengorganisir jaminan produk halal dengan membentuk BPJH yang berkerjasama dengan menteri dan/atau badan-badan yang berhubungan, Lembaga Penjamin Halal (LPH) dan Majelis Ulama Indonesia (MUI). Bentuk kerjasama antara BPJPH dengan LPH adalah untuk menginspeksi dan/atau menguji kehalalan suatu produk. Sedangkan,lingkup kewenangan MUI adalah Sertifikat Audit Halal; Penentuan status halal suatu produk; dan akreditasi dari LPH.

Nantinya LPH ini dapat didirikan oleh Pemerintah dan/atau masyarakat. Namun, khusus LPH yang didirikan oleh Masyarakat harus diajukan oleh lembaga keagamaan Islam yang berbadan hukum.

Bahan dan Proses Produksi Halal

Bahan yang digunakan dalam proses produksi halal mencakup bahan mentah, bahan olahan dan bahan-bahan tambahan. Bahan-bahan ini bisa didapatkan dari hewan, tanaman, mikroba atau bahan olahan kimia, biologis atau proses rekayasa genetik yang pada dasarnya halal kecuali yang sudah ditetapkan haram menurut syariah Islam yaitu bangkai, darah, babi, dan/atau binatang yang tidak disembelih sesuai syariah Islam.

Lokasi, tempat, dan peralatan proses produksi halal harus dipisahkan dari lokasi, tempat, peralatan untuk penyembelihan, proses, penyimpanan, pengemasan, distribusi, penjualan, dan penyajian produk yang tidak halal. Lokasi, tempat, dan peralatan tersebut harus tetap bersih, higienis dan bebas dari najis dan material yang tidak halal.

Kewajiban Pelaku Usaha
Pelaku Usaha yang menyerahkan permohonan sertifikat halal harus:

  1. Memberikan informasi yang benar, jelas, dan jujur
  2. Memisahkan lokasi, tempat, peralatan untuk penyembelihan, proses, penyimpanan, pengemasan, distribusi, penjualan, dan penyajian antara produk halal dan tidak halal
  3. Mempunyai pengawas untuk produk halal
  4. Memberikan laporan perubahan komposisi bahan kepada BPJPH

Pelaku Usaha yang telah mendapatkan sertifikat halal, wajib melakukan:

  1. Mencantumkan label halal pada produk yang telah mendapatkan sertifikat halal
  2. Mempertahankan kondisi kehalalan produk yang telah mendapatkan sertifikat halal. Ketidakpatuhan terhadap peraturan ini akan dikenakan sanksi penjara selama minimal 5 (lima) tahun atau ganti rugi sebesar Rp. 2.000.000.000 (dua miliar Rupiah).
  3. Memisahkan lokasi, tempat, peralatan untuk penyembelihan, proses, penyimpanan, pengemasan, distribusi, penjualan, dan penyajian antara produk halal dan tidak halal
  4. Memperbaharui sertifikat halal yang sudah tidak berlaku
  5. Memberikan laporan perubahan komposisi bahan kepada BPJPH

Pelaku Usaha yang memproduksi produk dari bahan-bahan yang tidak halal, tidak diikutsertakan dalam penyerahan permohonan sertifikat halal. Namun demikian, Pelaku Usaha tersebut harus mengikutsertakan informasi produk yang tidak halal.

Dalam jangka waktu lima tahun sejak UU JPH diundangkan, maka setiap pelaku usaha yang produknya masuk dalam definisi produk dalam UU JPH, wajib melakukan registrasi sertifikasi halal. Jika tidak, akan dikenai sanksi administratif berupa penarikan produk dari peredaran.

Sedangkan untuk Produk dari luar negeri (impor) yang akan diedarkan di Indonesia wajib untuk memiliki sertifikat halal dari lembaga sertifikasi halal di negara asalnya, sepanjang Lembaga Sertifikasi Halal tersebut telah melakukan kerjasama dengan pemerintah dan saling pengakuan.

Prosedur untuk Mendapatkan Sertifikat Halal
Permohonan sertifikat halal diserahkan ke BPJPH dan disertakan dokumen-dokumen sebagai berikut: informasi bisnis; nama dan jenis produk; daftar produk dan bahan yang digunakan; dan proses produksi:

Setelah dokumen diterima, BPJPH akan menentukan bahwa LPH akan menginspeksi dan/atau menguji apakah produk tersebut halal atau tidak. Penentuan dari LPH akan dilakukan dalam kurun waktu lima hari kerja sejak penerimaan dokumen dinyatakan lengkap. Inspeksi dan/atau pengujian dari produk tersebut akan ditentukan oleh pemeriksa halal di lokasi bisnis dan proses produksi.

LPH memberikan hasil inspeksi dan/atau uji produk kepada BPJPH yang mana akan meneruskan laporan kepada MUI untuk ditindak lanjuti mengenai ketentuan dari kondisi halal atau tidaknya produk tersebut. MUI akan menentukan hal tersebut melalui sidang fatwa yang akan dilakukan dalam kurun waktu 30 (tiga puluh) hari kerja sejak laporan diterima. Ketentuan dari MUI akan diberikan kepada BPJPH untuk digunakan sebagai dasar pembuatan sertifikat halal dalam kurun waktu 7 (tujuh) hari kerja sejak laporan diterima. Sertifikat tersebut berlaku selama 4 (empat) tahun sejak penerbitan sertifikat.

Pelaku Usaha yang telah mendapatkan sertifikat halal wajib memberikan label halal pada kemasan dan beberapa bagian/tempat produk tersebut yang dapat dengan mudah dilihat dan dibaca serta tidak dengan mudah dihapus, diambil dan dirusak. Pelaku Usaha yang memberikan label namun tidak sesuai dengan ketentuan ini akan dikenakan sanksi administratif berupa teguran lisan, teguran tertulis, atau pencabutan sertifikat halal

Ketentuan-ketentuan Peralihan
Sertifikat halal yang sudah dikeluarkan oleh MUI sebelum Undang-undang Halal akan tetap berlaku sampai tanggal yang tertera. Sebelum BPJPH berdiri, penyerahan permohonan pembaharuan sertifikat halal dilakukan sesuai dengan prosedur untuk memperoleh sertifikat halal yang berlaku sebelum RUU JPH terdaftar.

Peraturan Pelaksana
RUU JPH dimandatkan untuk pengeluaan beberapa peraturan pemerintah untuk mengatur:

a.    kewenangan BPJPH dan kerjasamanya dengan menteri,
b.    agen yang berhubungan, LPH, dan MUI.
c.    lebih lanjut mengatur tentang LPH,
d.    proses produksi halal, sertifikat halal,
e.    kerjasama internasional,
f.     prosedur registrasi sertifikat halal; dan
g.    supervisi dan tipe dari produk sertifikat halal.

Selain itu, sebagai turunan UU JPH akan diterbitkan beberapa peraturan menteri untuk mengatur:

a.    prosedur pemberlakuan sanksi administratif,
b.    pengaturan lebih lanjut untuk supervisi halal,
c.    prosedur permohonan sertifikat halal,
d.    prosedur penunjukkan LPH,
e.    pembaharuan sertifikat halal,
f.     manajemen keuangan BPJPH, dan
g.    apresiasi terhadap partisipasi aktif publik dalam melakukan pengawasan JPH.

Terlepas dari pro kontra terkait tudingan UU JPH menyuburkan monopolisasi sertifikasi halal oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) atau kekurangan terhadap UU JPH lainnya, kelahiran UU JPH patut diapresiasi sebagai langkah konkret dari negara dalam memberikan perlindungan terhadap masyarakat muslim. UU JPH jelas ditujukan kepada pelaku usaha muslim dan non-muslim, baik di dalam negeri dan di luar negeri yang produknya dipakai, digunakan dan dimanfaatkan di Indonesia.

Di sisi lain, pelaksanaan UU JPH nantinya diharapkan agar tidak menjadi batu sandungan bagi pelaku usaha dalam menjalankan bisnisnya. Yang tentu menjadi perhatian adalah bagaimana mengisolasi proses JPH dari biaya pungli serta penerapan kebijakan yang berbelit-belit sehingga terucap kata “mahal” dan “lama” sertifikasi halal di Indonesia.

Penyelenggaraan JPH sebagaimana diuraikan, akan melibatkan berbagai pihak baik pemerintah maupun swasta hingga masyarakat. Penerbitan peraturan-peraturan pelaksana yang menjadi turunan UU JPH pun jangan sampai tertunda karena akan menjadi kendala bagi efektivitas UU JPH itu sendiri.

Akhirnya, UU JPH ini adalah kabar baik bagi kita semua, yaitu konsumen dan pelaku usaha, sebagai awal dan batas yang jelas bermulanya interaksi positif produsen-konsumen yang menguntungkan kedua belah pihak. Produsen memiliki ketetapan aturan dan definisi produknya, dan konsumen mendapatkan perlindungannya.

Di sisi lain, masyarakat muslim harus meningkatkan perhatian dan lebih mawas diri dalam mengkonsumsi kehalalan suatu produk, terlepas dari ada atau tidaknya sertifikat halal, menjadi halal auditor pribadi masing-masing. Karena yang terpenting bukanlah mengkonsumsi produk yang bersertifikasi halal, namun konsumsi terhadap produk halal sesuai dengan syariat Islam. Wasalam.

* Konsultan Hukum pada Kantor Hukum BP Lawyers / Ketua Umum Jaringan Pengusaha Muslim Indonesia (JPMI) Wilayah DKI Jakarta Raya

Sumber : http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5443171141bb2/menjamin-industri-halal-melalui-uu-jph-broleh–bimo-prasetio-

BANI is Willing to Settle Mining Disputes

BANI is Willing to Settle Mining Disputes

The Indonesian National Board of Arbitration (Badan Arbitrase Nasional Indonesia – BANI) said that it is available to act as a third party (alternative dispute resolution) in order to settle disputes over mining permits (izin usaha pertambangan – IUP); public mining permits (izin usaha pertambangan rakyat – IUPR); and special mining permits (izin usaha pertambangan khusus – IUPK).

This was stated in a BANI response letter, numbered 11.821/VI/BANI/HU and signed by Husseyn Umar, a BANI board member. The letter answered a question from Bimo Prasetio, a lawyer at Adisuryo Prasetio & Co., on Wednesday (6/7).

Pursuant to Article 154 of Law No. 4 of 2009 on Coal and Mining, disputes regarding IUP, IPR, or IPK can be resolved in court and through domestic arbitration, in accordance with the prevailing laws and regulations.

Bimo, however, thoughtthat the word “and”, in the sentence “court and arbitration” had a cumulative meaning, which means that a mining dispute should be settled both in court and through arbitration. “This is counter productive, since a permit dispute could only be resolved by an administrative court (pengadilan tata usaha negara – PTUN),” Bimo explained.

Meanwhile, BANI stated that if this is what the Mining Law means, BANI will not have any objections to processing disputes. “The disputing parties, however, will choose which institution they wish to settle their dispute,” Hussyen asserted.

Hussyen further emphasized that parties can settle their dispute, either in a court or through non-judicial means, such as arbitration. “If the parties wish to settle their dispute through arbitration, they must include an article on arbitration in their agreement,” he added.

On the other hand, Irwandi Arif, a mining analyst, prefers having a single institution to settle mining disputes. “It’s better to use only one institution, court or arbitration,” he said, on Friday (22/7).

Satya W Yudha, member of Commission VII of the House of Representatives (DPR), had a different opinion. He said that the word “and” is not cumulative. “Another interpretation is that the word ‘and’ is a form of order, not simultaneous,” he explained.

Article 5 (1) of Law No. 30 of 1999 on Arbitration and Alternative Dispute Resolution stated the types of trade disputes that can be solved by BANI. The trade disputes listed in the Law includes mining dispute between the Indonesian government and investors.

Article 154 of the Mining Law, however, did not clearly state what kind of settlement is allowed for disputes that are based on the work contract (kontrak karya).

Satya also had different opinion regarding Article 154. “Only mining companies that have already obtained a permit that can settle their disputes in court and BANI. Whilst illegal mining companies can’t,” he asserted. Satya also added that the court and BANI could settle other disputes, not just permit-related disputes.

Husseyn stated that dispute settlement through arbitration could be conducted in an ad hoc form. Therefore, the dispute has to be settled in the institution that has been appointed by the parties, as long as there are no changes on the agreement. Furthermore, the disputing parties could always settle their disputes in the International Chamber of Commerce (ICC), or Singapore International Arbitration Centre (SIAC).

UKM Tak Boleh Sepelekan Hukum

UKM Tak Boleh Sepelekan Hukum

“Urusan hukum? Nanti, belakangan aja ketika usaha telah besar.” Pemikiran seperti ini sering didengar dalam kehidupan sehari-hari dari pebisnis yang sedang memulai usahanya. Namun, bagi Anda yang ingin memiliki pondasi kuat dalam membangun sebuah usaha bisnis, jangan lagi memiliki pemikiran seperti itu.

Demikian disampaikan pendiri kantor hukum Adisuryo Prasetio & Co,Bimo Prasetio dalam sebuah diskusi di Jakarta, Sabtu (10/11).

Dengan pondasi hukum yang kuat, lanjut Bimo, pengusaha dapat mengurangi atau setidaknya mengantisipasi masalah yang akan terjadi di kemudian hari. Bahkan, pada tahap tertentu, kesadaran tentang hukum juga dapat mempertebal dompet pelaku usaha.

Pandangan ini bukan tanpa sebab. Bimo menilai apabila pelaku usaha kecil menengah ini sadar atau memahami tentang hukum, bisnisnya akan berjalan lancar. Untuk itu, Bimo membeberkan beberapa tips yang perlu diperhatikan pelaku usaha ketika membangun kerajaan bisnisnya melalui aspek legal.

Tips pertama yang diberikan Bimo adalah ketika membangun usaha pertama kali, jangan dipusingkan dengan berapa banyak modal usaha, bagaimana cara membentuk badan usaha, dan bagaimana urusan pajaknya. Justru yang harus dipikirkan adalah cara mengembangkan usaha tersebut, yaitu dengan membuat target omzet terlebih dahulu. Semakin besar omzet usaha, semakin cerah keberlangsungan usaha.

Jika omzet bagus dan bisnis semakin berkembang, baru masuk ke tahap kedua, yaitu menentukan badan usaha. Pada tahapan ini, Bimo mengatakan suatu badan usaha tidak harus berbentuk hukum. Pengusaha diberikan pilihan untuk memilih bentuk badan usahanya. Semua bentuk badan usaha ini memiliki karakteristik yang berbeda dalam hal permodalan, kepemilikan, dan pemberian izin usaha. Jadi, cek kemampuan modal Anda terlebih dahulu sebelum memilih badan usaha.

Pilihan dalam menggunakan badan usaha atau perorangan akan berdampak pada pemberian izin usaha. Karena, izin usaha tidak dapat dialihkan kepada pihak lain atau badan lain serta izin usaha juga menentukan jenis usaha yang boleh dilakukan suatu perusahaan. “Ketika PT mendapatkan izin usaha di bidang perdagangan, PT dilarang melakukan usaha di bidang percetakan. Apabila itu dilakukan, risikonya menjadi tanggung jawab pribadi, bukan PT,” beber pria yang juga memiliki usaha kuliner ini.

Tips keempat adalah perjanjian. Bimo menegaskan bahwa perjanjian harus dibuat apabila usaha tersebut dijalankan minimal dua orang. Perjanjian dapat dibuat secara lisan ataupun tertulis. Namun, untuk kepastian dalam bekerjasama, Bimo menyarankan membuat perjanjian secara tertulis.

Lebih lanjut, terkait perjanjian ini, Bimo tidak memberikan pengecualian. Perjanjian tetap harus ada meskipun usaha tersebut dijalankan bersama sahabat. Justru, rasa saling percaya kepada sahabat tersebut harus dituangkan ke dalam perjanjian. Pasalnya, tujuan dari perjanjian tersebut adalah sebagai acuan kerja sama, kepastian transaksi, pedoman penyelesaian masalah, dan sebagai alat bukti ketika bermasalah.

“Buatlah perjanjian kerjasama atas dasar saling percaya, bukan sebaliknya,” tegas Bimo yang kerap memberikan tips dan saran lewat akun twitter @legal4ukm.

Selanjutnya, advokat dan juga pengusaha ini memberikan tips yang cukup penting, yaitu pengusaha harus sadar hak kekayaan intelektual, khususnya mengenai merek. Bimo menekankan kepada pengusaha untuk mendaftarkan merek, logo, atau brand usahanya. Dengan didaftarkannya merek atau brand usaha tersebut, pengusaha dapat menjalankan bisnisnya dengan tenang tanpa adanya perasaan takut dicaplok orang lain.

Pentingnya pendaftaran merek ini baru terasa ketika merek tersebut menjadi terkenal. Apabila merek tersebut belum didaftarkan dan sudah banyak dikenal orang, merek tersebut tidak dapat digunakan ketika ada pengusaha nakal yang mendaftarkan merek yang sama. “Kalau itu terjadi, maka Anda (pengusaha, red) harus membayar izin pemakaian merek tersebut kepada si pemegang hak merek,” tutur Bimo.

Selain memberikan rasa aman dari didomplengnya merek tersebut, pendaftaran merek dapat membuat bisnis pengusaha bisa semakin berkembang. Tentu anda bertanya-tanya apa relasi pendaftaran merek dengan berkembangnya suatu usaha. Relasinya adalah anda bisa memberikan lisensi pemakaian kepada orang lain jika orang tersebut ingin membuka usaha dengan merek yang sama, seperti halnya bisnis waralaba.

“Pendaftaran merek ini tidak menunggu sampai bisnis terkenal dulu dan telah berbadan hukum. Pendaftaran merek sebaiknya dilakukan ketika usaha lagi dibangun,” tutupnya.

Sources

UKM Tak Boleh Sepelekan Hukum

Alasan Memilih PT Bagi Perusahaan PMA


Pertanyaan
Mengapa baik penanaman modal asing maupun penanaman modal dalam negeri wajib berbentuk badan hukum (perseroan terbatas).

Jawaban

Terima kasih atas pertanyaan Saudara. Sebelum kami memberikan penjelasan terhadap pertanyaan tersebut, dapat kami sampaikan terlebih dahulu bahwa bentuk badan usaha yang berbentuk badan hukum yaitu Perseroan Terbatas (“PT”) hanya diwajibkan pada Penanaman Modal Asing (“PMA”) dan tidak diwajibkan pada Penanaman Modal Dalam Negeri (“PMDN”). Untuk lebih jelasnya, atas alasan perbedaan pengaturan bentuk badan usaha tersebut, dapat kami sampaikan penjelasan kami sebagai berikut:

A. Alasan PMA harus dilaksanakan dengan bentuk badan hukum (PT)

1. Perintah Undang-undang

Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal (“UU 25/07”) mengatur mengenai bentuk badan usaha bagi PMA pada Pasal 5 ayat (2) yang berbunyi “penanaman modal asing wajib dalam bentuk perseroan terbatasberdasarkan hukum Indonesia dan berkedudukan di wilayah Indonesia, kecuali ditentukan lain dalam undang-undang”.

Di samping itu, tujuan atas hal tersebut diterangkan dalam penjelasan UU 25/07, yaitu merupakan salah satu upaya pemerintah dalam memberikan kepastian hukum dalam penyelenggaraan PMA. Maka, terhadap pertanyaan Saudara, dapat kami sampaikan bahwa pengaturan bentuk badan usaha terhadap pelaksanaan PMA merupakan perintah dari UU 25/07 yang bertujuan untuk memberikan kepastian hukum.

2. Kepastian hukum dalam PT

Berikut adalah instrumen kepastian hukum yang diberikan dalam PT sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (“UU 40/07”):

  1. Anggaran Dasar
    Berdasarkan UU 40/07, jenis dan kegiatan usaha serta tata cara pelaksanaan kegiatan PT diatur dalam anggaran dasar yang dibuat dalam akta notarial dan harus didaftarkan serta disahkan oleh Kementerian Hukum dan Ham (“Kemenkumham”).Begitu pula terhadap setiap perubahan anggaran dasar harus diberitahukan kepada Kemenkumham, yang mana beberapa diantara perubahan tersebut, bahkan juga harus mendapatkan persetujuan dari Kemenkumham. Melalui mekanisme ini, memperlihatkan bahwa adanya kepastian hukum terhadap setiap tindakan dan kegiatan usaha PT harus sesuai dengan UU 40/07 dan anggaran dasar. Hal-hal tersebut tidak dapat dilakukan hanya berdasarkan nama orang perorangan saja seperti pada badan usaha yang tidak berbadan hukum.

    Pada badan usaha yang tidak berbentuk badan hukum (Firma, CV, Persekutuan perdata, dan lain-lain), anggaran dasar para pendiri tidak membutuhkan pengesahan dari Kemenkumham. Guna memenuhi asas publisitas, akta pendirian badan usaha cukup didaftarkan kepada panitera pengadilan sesuai domisili badan usaha tersebut.

  2. Pengalokasian Modal
    Satu hal yang paling krusial dalam pelaksanaan PMA adalah pengalokasian modal dan penggunaannya dalam menjalankan tujuan kegiatan usaha. Dalam PT penggunaan modal untuk kegiatan usaha hanya dapat digunakan dengan persetujuan perseroan yang ditempuh dengan mekanisme dan kesepakatan para pemegang saham yang dituangkan dalam anggaran dasar.Sehingga setiap tindakan dalam PT merupakan tindakan atas nama perseroan dan tidak bisa dilakukan hanya dengan persetujuan orang perorangan semata. Berbeda hal nya dengan badan usaha yang tidak berbentuk badan hukum yang dalam menjalankan tindakannya dapat bertindak dan bertanggungjawab atas nama orang perorangan tanpa persetujuan dari para pendiri badan usaha tersebut, tentunya jika hal ini terjadi pada PMA maka bentuk badan usaha tersebut tidak memberikan kepastian hukum terhadap modal yang ditanamkan oleh pihak asing.

    Demikian pula, bentuk penyertaan modal asing dalam suatu PT yang dapat dibuktikan dengan saham. Berbeda halnya dengan badan usaha yang tidak berbadan hukum, kepemilikan para pendiri tidak dapat diwujudkan dalam bentuk saham melainkan hanya kekayaan perseroan semata yang diatur oleh para pendiri sendiri.

    Pengalokasian modal dengan bentuk saham ini memiliki maksud dan tujuan yang diantaranya menentukan: (i) besar suara dalam pengambilan keputusan terhadap tindakan perseroan dan (ii) menentukan besar dividen dan/atau kerugian (tanggung jawab) yang akan diterima/diderita atas kegiatan usaha perseroan.

  3. Tanggung jawab yang terbatas
    Berdasarkan UU 40/07 Pasal 3 ayat (1) bahwa “Para pemegang saham tidak bertanggung jawab secara pribadi atas tindakan PT dan perikatan yang dilakukan oleh PT melebihi dari saham yang dimiliki oleh masing-masing pemegang saham”. Berdasarkan peraturan di atas, kami memahami bahwa besar tanggung jawab pemegang saham dalam PT hanya sebatas pada besar saham yang dimiliki dan tidak dapat mencakup kekayaan pribadi dari pemegang saham.Di dalam PT terdapat pemisahan kekayaan pribadi pemegang saham dengan PT itu sendiri.. Berbeda halnya dengan badan usaha yang tidak berbentuk badan hukum, dalam pemenuhan tanggung jawab oleh para pendiri tidak dibatasi berdasarkan besar kekayaan yang ditanamkan dalam badan usaha, tetapi dapat mencakup kekayaan pribadi dari para pendiri tersebut.
  4.  

  5. Organ Perseroan
    PT dalam menjalankan kegiatan usahanya dijalankan oleh organ perseroan yang terdiri dari:

    1. Rapat Umum Pemegang Saham;
    2. Dewan Komisaris; dan
    3. Direksi.

     
    Dari ketiga organ perseroan di atas, masing-masing organ memiliki kapasitas dan kewajiban masing-masing dalam menjalankan kegiatan usaha perseroan yag dituangkan dalam anggaran dasar dan/atau UU 40/07. Berbeda halnya dengan badan usaha yang tidak berbadan hukum yang dalam menjalankan kegiatan usahanya hanya dijalankan oleh paling sedikit dua (2) orang dan pengambilan keputusan dapat dilakukan langsung oleh persero/sekutu aktif dalam badan usaha non badan hukum tersebut.

B. PMDN tidak harus dilakukan dalam badan usaha yang berbentuk badan hukum

Berdasarkan UU 25/07 pasal 5 ayat (1) bahwa “PMDN dapat dilakukan dalam bentuk badan usaha yang berbentuk badan hukum, tidak berbadan hukum atau usaha perseorangan, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”. Maka, terkait pertanyaan saudara, berdasarkan Pasal di atas, kami memahami bahwa bentuk badan usaha bagi PMDN dapat dilakukan dengan badan usaha yang tidak berbadan hukum atau usaha perseorangan.

Demikian penjelasan yang dapat kami sampaikan, semoga bermanfaat.

Bimo Prasetio/Nadifa Assegaf

Bimo Prasetio