Sharing Economy, Hukum, dan Kegaduhan

Sharing Economy, Hukum, dan Kegaduhan

Kini konsumen merasa dimanjakan dengan berbagai layanan “murah”, user friendly dan techy. Tidak perlu menjadi tech savvy pun kini dengan mudah berbagai platform/aplikasi mudah sekali penggunannya. Ya, kita berada di era digital, yang membawa berbagai kemudahan dan problematika baru.

Tak hanya Konsumen, berbagai peluang pun muncul dengan konsep sharing economy”, yang dimanfaatkan banyak orang untuk mencari sumber income baru. Berbondong-bondong orang memanfaatkan peluang ini. Tapi apa sih sharing economy itu?

sharing ekonomi

Image: blog.udemy.com

Mengutip dari situs markplusinstitute.com, Sharing Economy atau dikenal juga dengan sebutan lain seperti  Colaborative Consumtion, Gig Economy dan lain sebagianya. Sharing Economy sendiri adalah sebuah konsep bisnis yang memberikan akses terhadap sumber daya yang dimiliki perorangan atau perusahaan untuk dimanfaatkan ataupun dikonsumsi bersama dengan orang lain.

Sharing Economy juga semakin tumbuh  berkembang disaat krisis ekonomi, dimana pemanfaatan barang secara kolektif dianggap lebih menguntungkan dibandingkan membeli secara personal.

Pemanfaatan konsep sharing economy dalam bisnis jasa teknologi aplikasi setidaknya menimbulkan “kegaduhan” yang menarik minat publik. Kabar baiknya, justru kegaduhan ini membuat masyarakat makin melek hukum. Mengulik soal sharing economy dan digital platform, tentu tidak bisa melewatkan dari pemberitaan soal pelarangan pengoperasian jasa transportasi dengan berbasis teknologi aplikasi oleh Menteri Perhubungan RI.

Walau sehari kemudian, setelah Jokowi melalui akun twitter nya “menegur” sang menteri akan kebijakan tersebut. Tak pelak, langsung diralat bahwa yang disampaikan oleh Menhub adalah himbauan bukan larangan. Dan kisah heroik ini ternyata tak menyelesaikan masalah, justru timbul demo pengemudi taksi terhadap operasional jasa transportasi berbasis aplikasi.

Yang jadi soal, ketika pemerintah tidak bersikap tegas, maka konflik horizontal akan timbul. Kegaduhan seakan tidak dapat dihindari lagi. (baca juga: Bagaimana peran pemerintah dalam mengatur teknologi jasa aplikasi). Inilah yang menurut saya jadi penting untuk memahami konsep sharing economy dan bagaimana kepatuhan hukumnya. Mari belajar dari kasus Uber dan Gojek.

 

Perusahaan Penyedia Aplikasi Jasa Transportasi Berbasis Teknologi

Bingung cari ojek atau taksi, tidak ingin menunggu tanpa kepastian saat diburu waktu? Kini melalui smartphone, anda bisa langsung menggunakan aplikasi jasa transportasi berbasis aplikasi.

Namun bukan berarti Gojek dan Uber ini merupakan perusahaan transportasi. Perlu dipisahkan antara pelaku usaha jasa teknologi aplikasi sebagai jasa penghubung dengan penyedia jasa transportasi itu sendiri. Lalu yang jadi soal, apakah perusahaan teknologi aplikasi seperti Uber dan Gojek harus memiliki izin khusus di bidang transportasi?

Selaku pelaku usaha jasa penghubung, perusahaan teknologi aplikasi tidak perlu memiliki izin untuk memperdagangkan barang dan jasa yang ia hubungkan melalui aplikasi atau patformnya. Sebab, tanggung jawab atas perdagangan barang dan jasa tersebut tetap melekat pada produsen barang dan jasa. Sebagai ilustrasi dalam bisnis lainnya, Agoda tidak perlu memiliki izin usaha perhotelan, namun hotel yang dipesan melalui Agoda, harus memiliki izin usaha perhotelan. Traveloka yang menghubungkan jasa tiket dan hotel juga, apakah lantas harus punya izin sebagai perusahaan travel agent dan hotel? Tentu tidak, tapi harus bekerjasama dengan perusahaan travel agent dan hotel yang sudah melengkapi perizinannya.

Jika memang perusahaan yang menyediakan aplikasi jasa transportasi online sebagai pelaku usaha penghubung seperti Go-Jek dan Uber ini adalah perusahaan teknologi, maka sebetulnya ia tidak wajib memiliki izin usaha seperti perusahaan angkutan umum. Jika perusahaan lokal maka cukup berbentuk badan hukum seperti PT dengan bidang usaha pemograman piranti lunak (aplikasi). Sedangkan jika berbentuk Penanaman Modal asing (PMA), selain berbentuk PT, juga harus mendapatkan izin prinsip dari Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM).

Perusahaan Angkutan Umum

Sudah pasti, penyedia jasa trasnportasi publik harus memenuhi perizinan di bidang transportasi. Berdasarkan UU No. 22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dan PP No. 74 Tahun 2014 tentang Angkutan Jalan, Perusahaan angkutan umum wajib memenuhi standar pelayanan minimal yang meliputi keamanan, keselamatan, kenyamanan, keterjangkauan, kesetaraan dan keteraturan, yang ditetapkan berdasarkan jenis pelayanan yang diberikan.

Pengoperasian ojek dan taksi sejenis melalui Gojek dan Uber dinilai oleh pemerintah tidak memenuhi ketentuan UU No. 22/2009 dan PP No. 74/2014. “Ketentuan angkutan umum adalah minimal harus beroda tiga, berbadan hukum, dan memiliki izin penyelenggaraan angkutan umum.”

Bagi mitra pemberi jasa transportasi kendaraan (yang dihubungkan melalui Uber), agar dapat beroperasi dan mendapatkan izin penyelenggaraan angkutan umum, setidaknya harus memenuhi persyaratan berikut ini: berbadan hukum PT atau Koperasi, menguasai pool kendaraan, lulus uji KIR, memiliki NPWP, SIUP, TDP, dan HO (izin Gangguan).

Oleh karena itu, dalam penerapan bisnis “sharing economy” ini juga perlu memperhatikan regulasi terkait industri jasa yang dihubungkan melalui teknologi aplikasi. Pelaku usaha perlu memahami regulasi terkait perizinan jasa yang dihubungkan agar model bisnis yang dipilihnya harus mematuhi ketentuan yang berlaku, agar tidak gaduh.

Bimo Prasetio

Indonesian Startup Lawyer

CEO Easybiz.id dan lawyer pada kantor hukum BP Lawyers

bimo@bplawyers.co.id

Bimo Prasetio